Berbicara tentang susu, yang ada disetiap pikiran orang
pasti umumnya adalah minuman bergizi, bervitamin, bermanfaat, minuman membantu
perkembangan dan pertumbuhan tubuh dan otak bagi semua orang disegala usia. Terutama
usia balita hingga anak-anak usia pertumbuhan. Meski disisi lain juga berfungsi
untuk menjaga stamina dengan spesifikasi bagian tubuh tertentu seperti untuk
menjaga kesehatan tulang bagi orang dewasa dan kebaikan-kebaikan fungsi
lainnya.
Padahal tidak semua
asumsi dan pemikiran itu benar, dalam artian dalam kondisi tertentu susu justru
bukan lagi minuman bermanfaat bagi yang meminumnya karena tubuh sipeminum tidak
bisa menerimanya karena mengalami dan menderita alergi. Begitu pula tentang
susu dengan fungsi pengobatan. Seperti yang kita tahu masyarakat Indonesia sangat
suka, percaya dan tertarik pada hal-hal yang “aneh” dan baru. Terutama soal
pengobatan, masih banyak masyarakat yang lebih memilih pengobatan selain
dokter. Misalnya dengan mengkonsumsi berbagai makanan atau minuman yang
dianjurkan oleh para sesepuh kampung, atau kalau dimasyarakat dikenal dengan
dukun kampung. Yang salah satunya adalah anjuran meminum susu hewan tertentu.
Dan melalui postingan di blog ini saya ingin
menyuarakan kegelisahan dan kegalauan tentang alergi susu dan susu untuk
pengobatan karena ini adalah pengalaman pribadi. Yang mana saya ingin ini agar
mendapat perhatian dari semua kalangan dan pihak terkait karena menyangkut
kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak penerus bangsa.
Alergi Susu
Saya ibu dari seorang putrid berusia tiga tahun yang proses persalinannya
diberlangsung disalah sati RSIA dikawasan Jakarta Timur. Sejak hamil saya sudah
memantapkan hati untuk memberikan ASI eksklusif semampu saya kelak. Tapi ternyata
hal tersebut tidak semudah yang saya bayangkan. Malam pertama anak saya lahir
masalah timbul saat anak saya yang masih kecil dan lemah tidak bisa menghisap
ASI dengan kuat, kondisi bertambah parah saat ASI saya tidak keluar dengan
lancar dan puting payudara yang tidak mendukung meski sudah dibantu dua orang
bidan dengan sebuah alat bantu.
Alhasil bayi saya manangis kencang karena haus berjam-jam. Akhirnya
saya dan suami memutuskan untuk sementara memberinya susu formula sampai
kondisi ASI saya normal. Dan bayi saya pun tidur dengan tenang. Hingga dua hari
kemudian saaya dan bayi saya diijinkan pulang. Saya masih memberinya susu
formula dan sesekali memberinya ASI sebisanya meski belum bisa maksimal.
Tapi seiring dengan ini, disekujur tubuh anak saya keluar
flek-flek merah yang lama-lama berubah menjadi gelembung merah berair seperti
melepuh terkena air panas. Tapi anak saya tidak rewel. Awalnya tidak saya
hiraukan karena kata orang-orang yang “lebih pengalaman” dalam arti punya anak
duluan dari saya itu biasa, kalau kata orang kampung disebut ganti kulit. Tapi karena
dalam waktu tiga hari tidak hilang dan tambah luas saya mulai kwatir dan memutuskan
membawanya ke dokter.
Oleh dokter spesialis anak tersebut bayi saya diperiksa
dengan seksama hampir setengah jam lamanya. Dan hasil yang keluar adalah anak
saya mengalami alergi susu hewani. Saya sebenarnya tidak begitu paham dengan
hal ini, tapi yang saya tangkap secara singkat dari dokter tersebut adalah anak
saya tidak bisa mengkonsumsi susu dari sapi, domba dan hewan lain. Dan harus mengganti
susunya dengan susu nabati yaitu susu yang berbahan dasar tumbuhan misalnya
susu dari kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, atau jagung dan
tumbuhan sehat lainnya.
Akhirnya saya memeli susu yang diresepkan oleh dokter. Dan ternyata
susu tersebut sangat sulit didapatkan dipasar bebas. Dan hanya bebrerapa apotik
yang menyediakan stoknya dalam jumlah terbatas. Dan yang ada itupun ternyata
hanya merk import. Dan jangan ditanya harganya. Bagi orang dengan kemampuan
ekonomi biasa saja seperti saya tentu sangat berat. Tapi karena ASI saya belum
lancar saya terpaksa membelinya, sambil terus berusaha berbagai cara
melancarkan ASI saya.
Saat usia bayi satu minggu saya bawa pulang ke Tanjung
Priok, dan saat mencari susu yang sama saya benar-benar tidak menemukannya baik
dipasar umum bahkan mini market, super market atau pun apotik. Hingga terpaksa
selagi ASI belum siap bayi saya biarkan menagis sekitar tiga hingga lima menit
sampai saya berhasil melancarkan ASI malaui alat yang diberikan oleh bidan RSIA
tempat saya melahirkan. Dan Alhamdulillah saya hanya duaa hari sejak pulang ke
Tanjung Priok atau saat bayi saya berusia delapan hari ASI saya lancar. Dan saya
tidak perlu lagi bingung mencari susu formula nabati tersebut. Gajala lain dari
alergi susu ini adalah muntah. Saya mengalaminya saat anak saya berusia enam
bulan dan saya ingin memberinya tambahan susu formula ternyata tubuhnya masih
belum bisa menerima. Setiap selesai meminum susu formula satu botol maka anak
saya langsung muntah. Dan baru bisa menerima saat usianya dua setengah tahun. Dan
ini memang sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh dokter Yang mengatakna
alergi akan hilang dengan sendirinya saat anak berusia 2-3 tahun. Dan saya waktu
iitu tidak bertanya lebih lanjut penyebabnya, kenapa dan mengapa.
Tapi hal ini jadi catatan tersendiri bagi saya. Saya membayangkan
bagaimana nasib anak-anak yang orang tuanya memiliki kemampuan ekonominya
sangat pas-pasan, dan mengalami kesulitan yang sama dengan saya diawal-awal
pemberian ASI? Sedangkan produk ini sangat sulit dicari dan kalau pun ada
harganya cukup membuat sesak nafas. Berarti secara tidak langsung si bayi tidak
bisa mendapatkaan gizi maksimal yang dibutuhkannya.
Dan awal tahun 2011 lalu salah satu keponakan saya juga
mengalami hal yang sama. Selama cuti dia memberikan ASI dengan maksimal,
menjelang cuti berakhir dia melatih anaknya dengan susu formula. Dan akibat
yang dialami adalah gangguan pernapasan. Dan saran yang diberikan dokternya
juga sama, ganti susu formulanya dengan yang berbahan dasar nabati. Meski bersama
suaminya bekerja dan berpenghasilan double tetap saja dia berkata cukup
kewalahan juga dengan harga susu khusus tersebut.
Karena itu saya saya berharap merk lokal mengembangkan
inovasi susu berbahan dasar nabati yang soal label halalnya sudah pasti
tidak perlu diragukan lagi. Dalam artian, tidak ada label haram untuk tumbuhan
bukan? dan tentu saja dengan harga yang terjangkau bagi semua kalangan ,
termasuk kalangan menegah kebawah. Bukankah mereka juga berhak mendapatkan
kecukupan gizi dengan kemampuan ekonomi terbatas yang mereka miliki? Karena anak-anak
ini juga calon penerus bangsa ini.
Susu Pengobatan
Mayoritas masyarakat Indonesia adalah orang dengan kemampuan
ekonomi menengah kebawah. Sehingga terkadang untuk biaya hidup mencari yang
murah-murah untuk banyak hal. Termasuk pengobatan. Kita pasti sudah pernah
mendengar tentang susu kuda liar atau susu kida Sumbawa. Berbagai iklan
diberbagai media kerap kita jumpai tentang khasiat susu ini. Berbagai produknya
juga sering kita jumpai dengan bebas beredaar tanpa kita tahu bagaimana
kwalitasnya dan cara pengolahannya. Apakah benar-benar asli, diolah dengan
higienis dan apakah keterangan BPOM yang tertera dikemasan benaar-benar didapat
melalui jalur yang benar? Seperti kita tahu begitu banyak kecurangan yang
sering dilakukan oleh orang-orang untuk mencari keuntungan ditengan kondisi
masyarakat yang labil. Dengan iklan yang menggiurkan, mereka memasarkan produk
susu obat tersebut. Bahkan suami saya sendiri pernah membeli produk yang dijula
dengan cara dijajakan keliling oleh seseorang. Saat itu anak saya sakit, dan
dengan bujuk rayunya yang kuat sipenjual berhasil meyakinkan suami saya. Dan sesampainya
dirumah dia langsung membuka susu dengan label SUSU KUDA SUMBAWA CV.MUTIARA
TIMUR OLES untuk diminumkan ke anak kami. Tapi karena saya sangat cerewet
lansung melarangnya. Dan mencicipinya yang menurut saya rasanya lebih mirip
rasa susu fermentasi yang banyak dijual dipasar umum.ditambah dengan promosi si penjual yang menurut suami saya dengan yakinnya mengatakan itu asli dari Sumbawa Nusa Tenggara yang kita tahu sebagian masyarakatnya non Muslim. Jadi bagaimana kita bisa tahu ke halalan produk tersebut bukan?
Pengalaman kedua tentang susu obat saya alami saat anak berusia satu tahun. Saat itu anak saya sakit dan menurut dokter panas dalam karena didalam mulutnya memang terdapat bercak-bercak merah. Kebetulan saat itu kami sedang liburan kekampung di Jawa Timur. Dengan sigap para orang tua dikeluarga saya mencarikan susu kambing yang didapat dari salah satu peternak kambing dikampung kami. Meski saya ajukan berbagai argument tentang higienitas, kuman dan sebagainya akhirnya saya tetap kalah dan susu kambing “murni” pun berpindah kemulut anak saya. Dan besoknya sakit yang dialami anak saya memang berkurang. Semua keluarga berpendapat itu pasti karena khasiat susu tersebut. Sedangkan batin saya berkata sebagian juga karena obat dokter yang saya berikan. Dan bahkan setelahnya saya masih membayangkan bagaimana tidak higienisnya cara mereka mendapatkan susu tersebut. Sedangkan untuk kandungannya, saya sendiri belum tahu banyak. Yang ada jika kita mencari ke Internet yang keluar adalah ratusan iklan berbagai produk terkait. Bukan hasil penelitian atau pengembangan dari instansi resmi.
Karena itu saya berharap produsen susu lokal bisa
mengembangkan susu halal untuk pengobatan dari bahan tersebut. Karena yang kita
tahu selama ini mayoritas susu yang beredar adalah susu dari sapi untuk
pertumbuhan. Dengan adanya berbagai inovasi terbaru dari cara pengolahan susu, bila terus
dikembangkan tentu akan semakin baik dan akan semakin memperkaya jenis asupan
gizi bagi anak Indonesia untuk semua kalangan tanpa dihantui rasa kwatir lagi tentang higienitas proses pembuatannya dan keabsahan label halalnya. Baik untuk kalangan atas yang
mampu membelinya dengan harga tinggi maupun kalangan menengah bawah dengan
kemampuan ekonomi pas-pasan. Dengan kerjasama berbagai pihak ini pula sosialisasinya tentu bisa lebih maksimal dan semua pasti bisa tercapai dengan kerjasama
berbagai pihak terkait.
Artikel ini dilombakan dalam Kontes Blog Spektakuler yang bertema “Susu Inovasi yang Sehat dan Halal Untuk Pertumbuhan Anak"
nice info makasih ya
BalasHapus