Perbatasan baik laut dan darat bagi
setiap Negara adalah hal yang dianggap sangat krusial karena menyangkut manisfestasi
kadualatan dan keamanan sebuah Negara karena semua juga mempengaruhi Politik Luar
Negeri dan berbagai kebijakan penting sebuah Negara. Karena itu, sengketa tapal
batas bisa menjadi sebuah problematika yang tak kunjung usai untuk
diperdebatkan oleh Negara yang terlibat dan akan menjadi sebuah tarik ulur
hubunngan “Benci tapi rindu” diantara yang bersengketa. Kenapa? Karena sudah
pasti yang biasanya yang bersengketa adalah Negara yang bersebelahan yang
sebenarnya memiliki hubungan saling membutuhkan (kalau tidak bersebelahan apa
yang diperebutkan ya…hehehe!)
Karena #10daysforASEAN saya jadi
tahu bahwa perebutan perbatasan yang ada di wilayah Asean ternyata tidak hanya
terjadi pada Indonesia dan Malaysia tapi juga antara Singapore dan Malaysia (benar-benar
membuat pintar pesertanya #10daysforASEAN ini) . Hem…jadi berpikir, kok Malaysia
kanan kiri ribut perbatasan ya?
Singapore pada masa yang lalu
adalah bagian dari wilayah Malaysia bersama-sama dengan Sabah dan Serawak dan
menjadi Negara Republik sendiri pada 9 Agustus 1965. Mengenai kemerdekaan Singapore
sendiri masih banyak perdebatan yang terlontar dimana ada yang mengatakan “meminta
Kemerdekaan sendiri” tapi ada pula yang mengatakan “Diusir oleh pemerintah
Malaysia sendiri” karena pada masa itu Singapore adalah hanya berupa tanah
kosong nan gersang yang tak memiliki potensi apa-apa di dalamnya sehingga dianggap
akan menjadi beban tersendiri bagi Negara Malaysia saat itu.
Hingga beberapa tahun setelah
berdirinya Singapore menjadi Negara Republik sendiri yaitu tepatnya 21 Desember
1979 Malaysia mengeluarkan upgrade peta terbarunya dimana dalam peta tersebut memasukan
wilayah pulau Pedra Branca alias Batu Puteh menurut Malaysia kedalam
wilayahnya. Dan pulau yang sudah hampir seabad berada masuk ke wilayah
administrasi Singapore ini tentu saja ditolak klaimnya oleh Singapore. Dan melalui
perundingan panjang yang tak menemukan titik akhirnya kedua Negara membawa
kasusnya ke Mahkamah Internasional. Bahkan pada perundingan periode pertama sekitar
tahun 1993 muncul sengketa baru atas status Pulau Batuan Tengah (Middle Rocks)
dan Karang Selatan (South Ledge). Dan keputusan pada 2008 menyatakan kemenangan
Singapore atas Pulau Batu Puteh atas Malaysia. Tapi menurut artikel yang saya bacadisini dan disini kedua pulau yang lain juga sudah
diputuskan pada 2008 lalu.
Yang jadi masalah, masyarakat
Malaysia banyak yang tidak bisa menerima keputusan atas Pedra Branca dan
bagaimana pengaruhnya terhadap Komunitas Asean 2015? Saya orang yang selalu
berusaha berpikir sederhana dan positif terutama soal perebutan sengketa
perbatasan. Wajar masyarakat Malaysia tidak ikhklas, apa bedanya kita
masyarakat Indonesia atas perebutan pulau yang terjadi dengan Malaysia? Meski Mahkamah
Internasional sudah memutuskan memenangkan Malaysia dan kita masyarakatnya
tentu tidak ikhklas. Tapi Komunitas Asean tetap berjalan bukan? Karena pada
dasarnya setiap Negara memiliki kepentingan masing-masing baik secara sendiri
maupun dalam kebersamaan. Komunitas Asean secara umum dan sederhana dalam
pandangan saya sebagai warga biasa tanpa melihat pasal dan klausul berdirinya
(yang biasanya bahasanya sangat resmi) bertujuan membangun kekuatan kawasan
regional seperti halnya Uni Eropa. Dimana mempersatukan kekuatan dalam wilayah sebuah
kawasan regional itu penting untuk menghadapi semua tantangan dunia yang terus
berkembangan dan membutuhkan kekauatan ekstra untuk menghadapinya. Istilahnya dalam
peribahasa Indonesia “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Dengan menggabungkan
sepuluh kekuatan akan menjadi lebih baik daripada jalan sendiri tanpa “teman”. Karena
itulah dinamika kehidupan. Sengketa perbatasan adalah sengketa dua Negara. Sebagai
Negara penengah, Negara Asean yang lain wajib mengingatkan dan menjadi mediator
perundingan tapi tidak berhak ikut campur terlalu jauh dan dalam karena akan
dianggap memihak satu salah satunya. Semua memiliki tempat dan kapasitas
masing-masing. Pada saat setiap Kepala Negara dan jajarannya berkumpul dalam
perundingan Komunitas Asean yang ada adalah kebersamaan dan tidak mungkin untuk
membahas konflik dan kepentingan masing-masing dan masing-masing pasti memiliki
etika untuk tidak mengeluarkan ego di tengah kebersamaan yang berlangsung. Dan bila
akan melakukan perundingan tentang sengketa maka akan dibicarakan secara
terpisah.
Setiap Negara bersengketa
perbatasan seperti Singapore dan Malaysia serta Malaysia dan Indonesia pasti
tahu dan sadar apa yang harus lebih dulu diutamakan. Sekarang di era modern sudah
banyak Negara di dunia yang sadar bahwa perang bukan jalan utama untuk menyelesaikan
masalah karena akan menimbulkan banyak kerugian baik materi maupun non materi. Sehingga
saya yakin Malaysia dan Singapore akan mendahulukan perundingan dan jalan damai
daripada adu otot terutama setelah Komunitas Asean sudah benar-benar
diterapkan. Meski disisi lain sekali waktu pada saat-saat tertentu riak konflik
pasti akan tetap muncul dan menimbulkan kebencian namun letupannya tidak akan
meledak keras. Sejarah yang mencatat hubungan dekat masa lalu sehingga membuat
pemikiran bahwa nenek moyang kita sama, leluhur kita sama dan tidak akan
memungkiri kedekatan tanah dan history akan selalu membuat hubungan terus
berjalan dan mempengaruhi sifat “menahan egoisme” lebih besar. Karena kepentingan yang lebih
besar lagi yaitu Komunitas Asean 2015 untuk masa depan yang lebih baik jauh
lebih utama. Jadi sengketa ini akan tetap menjadi hubungan “Benci tapi
rindu” seperti halnya juga hubungan yang sama antara Malaysia dan Indonesia. Meski
katanya benci tapi tetap banyak warga kita yang lebih betah bekerja disana untuk mencari nafkah atau menempuh pendidikan bahkan sudah banyak masyarakat antara kedua menikah. Dan ini salah satu bagian dari tujuan adanya Komunitas Asean menyatukan banyak hal dan aspek untuk menuju kekuatan baru.
nah itu mbak, saya juga kepikiran yg kiri kanan ribut ttg perbatasan (kekurangan lahan kah?) :D
BalasHapusgudluck ya mbak, semoga menang.. :D