Apa yang terlintas saat
membicarakan seorang perempuan yang menggeluti profesi sebagai seorang “Pelayan
Nafsu”? Dosa? Bergidik ngeri? Menjijikan? Dan berbagai persepsi serta bayangan
lain yang intinya adalah “negatif”. Profesi yang cukup tua di dunia ini seakan
tidak pernah ada habisnya untuk dibahas. Selalu banyak kisah dibalik layar
kehidupan yang menarik untuk diungkap dari profesi ini. Termasuk untuk diungkap dan diangkat dalam sebuah
novel.
Ya, Maman Suherman yang akrab
disapa Kang Maman seorang Jurnalis, Notulen, Kreator Program TV adalah salah
satu yang mengangkat kisah seorang pelacur dalam sebuah novel berjudul Re:
Namun yang menarik dan unik kisah
ini adalah based on true story, sebuah kisah dari hasil penelusuran secara
langsung yang didapat saat menyusun skripsi yang telah tertunda selama dua
tahun saat menyelesaikan studi jurusan Kriminologi UI pada pertengahan dekade
80, yaitu menelusuri kisah pelacur lesbian.
Jadi novel Re: adalah kisah yang diangkat oleh penulis dari skripsinya. Kisah
perjalanan seorang pelacur lesbian bernama Rere.
Sangat menarik membaca kata demi
kata, kalimat demi kalimat dalam novel ini yang banyak menampilkan dialog
penulis dengan Rere. Diantaranya cerita Rere tentang hidupnya, bagaimana awal
dia terjerumus ke dalam lembah hitam pelacuran, siapa saja yang dilayani Rere.
Bagaimana “Mami” menjeratnya, dan membuatnya “seolah” tak memiliki daya dan
kekuatan untuk lari. Gugatannya Rere tentang “kehidupan” yang cukup tidak adil
bagi seorang perempuan seperti dirinya.
Ya, melalui novel ini penulis
ingin menyerukan pada dunia bahwa perempuan sangat mulia, perempuan adalah
sosok hebat dan layak dihargai sejajar dengan kaum laki-laki, apapun posisi dan
pekerjaannya. Dan seolah ingin mengajak pembaca berfikir bahwa kita tidak bisa
menilai orang hanya dari apa yang kita lihat sepintas saja. Melihat seorang
pelacur yang terlihat santai belum tentu dia begitu, padahal kenyataaannya
mereka menjerit dan ingin sekali lepas dari jeratan nista tersebut.
Dengan pengalaman melihat sang
Ibu menjadi single parent, penulis selalu percaya bahwa perempuan adalah sosok
yang hebat dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Perempuan manapun, dan saat
bertemu Rere kayakinan itu semakin kuat. Melalui “buku hidup seorang Rere” penulis
belajar dari sosok Rere dan sebagian kecil (karena aslinya tulisan 400 halaman
dan dipangkas penerbit hanya jadi 100++) tertuang dalam novel Re:, penulis
ingin mengatakan tentang dukungan pada kesetaraan gender. Bahwa perempuan
berhak mendapatkan posisi yang sama dalam segala bidang dan aspek kehidupan
untuk pandangan yang bersifat culture.
Salah satu kutipan yang sangat
suka dalam novel Re: adalah pada halaman 47 :
“Dari berbagai temuan
lapangan, aku menyimpulkan sejumlah klasifikasi kepelacuran. Pertama adalah
klasifikasi menurut jenis kelamin. Di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya
yang berkembang bukan hanya pelacuran perempuan, tapi juga laki-laki bahkan
banci. Jadi selain WTS (Wanita Tuna Susila), seharusnya ada juga istilah LTS
(lelaki tuna susila) dan BTS (Banci Tuna Susila)”
Bagian ini menurut saya cukup menampar karena sangat benar
adanya. Kenapa hanya perempuan yang selalu mendapatkan istilah buruk tersebut?
Saya jadi ingat nasehat Ibu saat
saya remaja “Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai salah jalan. “Perawan” sangat
krusial untuk seorang perempuan, sekali hilang maka hanya tinggal “bekas”. Tapi
untuk laki-laki “perjaka” hanya untuk status sudah menikah atau belum”. Yah,
novel ini seolah mempertegas gambaran nasehat tersebut.
Indonesia masalah kesetaraan
gender memang masih sangat rumit dan penuh kontroversi karena masing-masing
orang mebawa kebenaran masing-masing saat mengungkapkan pendapatnya. Tapi satu
hal yang nyata betapa perempuan masih sering hanya dianggap sebagai obyek dalam
berbagai kondisi. Suara perempuan masih belum begitu dianggap dalam berbagai
aspek. Salah satu contoh adalah yang diungkapkan oleh seorang Creative Content
Provider mbak Suci Haryati dalam sebuah diskusi yang menyorot berita pembunuhan
yang dilakukan oleh seorang Ibu terhadap putrinya yang masih balita. Banyak orang
menghujat dan menganggapnya “tidak waras” tanpa menelisik bagaimana kehidupan
si Ibu sebelumnya, tekanan batin yang mungkin dialaminya, dan ketidak
mampuannya mengungkapkan isi hati sehingga menjadi tekanan batin yang dasyat
dan suatu hari “meledak” dalam bentuk tindakan negatif. Orang hanya melihat
dari satu sisi pemberitaan yang sudah di “frame” oleh media yang terbukti
memiliki peraturan dan batasan sendiri dalam meja redaksi.
Hal ini juga sama dengan yang
dialami seorang Rere, masa lalu yang kelam membuatnya jadi pemberontak dan
penuh gugatan terhadap hidup membuatnya terjerumus dalam nista pelacuran. Tapi di
sisi lain dia tetap seorang peremuan yang juga memiliki hati, naluri dan hati
nurani. Hal ini tergambar dari tindakannya yang tidak menggugurkan janin yang
dikandungnya, tapi melahirkan dan menitipkannya pada orang yang tepat dan
amanah. Dan Rere tetap tidak melepas tanggung jawab dengan terus menyokong
biaya sang buah hati “dari belakang”.
Jadi intinya, Novel Re: yang
ditulis Kang Maman adalah sebuah gambaran perempuan dalam dinamika kehidupan. Kita
bisa melihat perempuan “antagonis” dalam diri Mami, kita bisa melihat “pejuang”
dalam diri Rere dan teman-temannya, dan bisa melihat seorang perempuan “amanah”
pada sosok Ibu angkat Melur (Putri Rere). Gambaran-gambaran kemunafikan hidup
dari ragam pelanggan Rere dan teman-temannya.
Dari sini sebagai perempuan, saya
bisa belajar untuk berjuang menempatan diri saya di mana dan sebagai apa. Dan
berusaha belajar memahami, mengerti dinamika hidup para perempuan. Tentang nasib,
kesempatan dan pilihan hidup.
Selama ini saya selalu percaya
pada kalimat “Hidup adalah pilihan” dan percaya tidak ada seseorang yang sejak
dalam kandungan sudah digariskan sebagai pelacur, tapi di sisi lain saya juga
percaya terkadang kerasnya hidup dan kondisi bisa membuat seseorang salah pilih “jalan” dan bisa mengakibatkan orang
terjebak dalam sebuah jalan buntu yang membuatnya sulit mencari jalan untuk
keluar, bahkan terkadang harus mempertaruhkan nyawa untuk oerjuangannya keluar
dari jalan buntu tersebut. Dan itu terjadi pada Rere.
Akhirnya, aku selalu bangga
menjadi seorang perempuan, bahkan jika seandainya ada pertanyaan “Bila kamu
diberi kesempatan untuk terlahirkan kembali, ingin jadi apa?” maka dengan tegas
aku akan menjawab “Ingin jadi diriku sendiri seperti saat ini, seorang
perempuan dengan segala dinamika yang terjadi dalam hidupku dan belajar menjadi
lebih baik dalam segala aspek”.
REviewnya keren, mak. Ulasannya juga sangat inspiratif.
BalasHapusSalam hangat,
Zia
Makasih mak sudah mampir :D
HapusRere kereen ya, Mba. Bertanggungjawab, meski dikit nakal. :D
BalasHapusIyup, mssih punya hati dan naluri perempuan yang kuat :)
Hapuspenulisnya orang sunda ya mak hehehe
BalasHapusBukan...Makasar mak :)
Hapusaku suka kata2 terakhirnya Mak :)
BalasHapusMakasih mak dah mampir :D
Hapusyang terlintas pertama kali ketika lihat bukunya adalah,
BalasHapuspasti penulisnya berasal dari sunda
hehehhee klihatan banget dari namanya
Makasar msk hihi :D
Hapus