Anak manis yang kadang diperlakukan "sedikit kejam" eh tegas ding :) |
“Hidup itu susah Nak, jadi kamu harus jadi sosok yang kuat”
Mengertikah saat anak berusia
enam tahun diajak ngobrol demikian? Entahlah, apa dia akan menangkap maksud
sebenarnya atau tidak. Tapi kalimat nasehat yang terus diucapkan berulang dalam
berbagai kesempatan dan obrolan, saya yakin akan tertanam dengan baik dalam
pikiran anak hingga dewasa kelak.
Memiliki buah hati itu adalah
anugrah dan kebahagiaan, tapi di sisi lain menurut saya juga tanggung jawab
yang besar untuk bisa membimbingnya menjadi sosok yang maksimal dalam segala
aspek kehidupan secara positif. Dan salah satu peribahasa yang saya sukai
tentang orang tua dan anak “Anak adalah sekolah kehidupan tanpa akhir bagi
orang tua” yang menurut saya sangat-sangat benar.
Jujur sampai Alisha berusia enam
tahun jalan tujuh sekarang, paling sulit adalah “meminimkan kemanjaan”. Apalagi anak baru satu yah, susahnyoo :D
Bukan dari faktor luar yang
membuat susah, tapi justru dari diri sendiri saya dan suami sebagai orang tua. Memberi
kemudahan, menyediakan segera apa yang diminta dan berbagai hal-hal lain yang
sebenarnya secara sadar kami tahu itu kurang baik. Tapi karena “naluri melindungi” lebih kuat, jadilah kadang-kadang
sedikit kebablasan.
Beberapa waktu yang lalu hal ini
juga terungkap dalam obrolan seru saya dan para makmin KEB saat berkumpul. Yang
ternyata makin besar anak bukannya orang tua makin santai, tapi tantangan juga
semakin besar dan bertambah. Karena mandiri tidak sekedar tentang anak bisa
mandi sendiri, makan sendiri, mengatur dan merapikan seragam sendiri. Tapi
mandiri lebih luas, bagaimana kelak dia bisa menghadapi dunia yang keras.
Bagaimana susahnya melindungi
anak sesuai dengan porsinya. Karena terkadang anak yag terlihat mandiri di
rumah, ternyata tidak demikian di luar. Padahal pada saat tertentu kita tidak
selalu bisa mendapingi anak full day,
ada saat di mana anak harus menghadapi kondisi dia harus mengambil keputusan
sendiri. Kelak dewasa anak harus menghadapi dunia luar yang tak akan pernah
sama kondisinya dengan rumah yang selalu nyaman dan aman.
Inilah tantangan
terberat sebagai orang tua. Secara teori tentu sudah banyak
materi dan pengalaman langsung bertebaran di dunia maya. Dari web dengan
pengisi materi seorang expert bidang parenthing hingga seorang full mom. Dari situ banyak pelajaran
bisa kita ambil. Tentu dengan catatan ambil mana yang sesuai dengan kondisi
kita. Karena tidak semua teori sesuai dengan kita juga. Jadi yang tidak sesuai
tentu jangan dipaksaksakan.
Untuk saya sendiri, selain
belajar dari teori yang saya baca, mengingat lagi sebagian ajaran Ibu saya yang
masih relevan denga era sekarang juga saya lakukan. kenapa saya bilang masih
relevan? Karena menurut saya pribadi memang ada beberapa yang tidak relevan.
Contohnya membicarakan pendidikan
seks usia dini, dulu jangankan untuk ngobrol bebas tentang edukasi seks, baru
bertanya “Seks itu apa?” Ibu sudah mengacungkan jari ke mulut dan menjawab “Itu
tabu, nggak boleh diobrolin”. Untungnya dulu belum ada internet, jadi masih
manut dan percaya kalau itu benar-benar hal terlarang untuk dibicarakan. Jadi
saya tidak lagi mencari tahu ke tempat lain.
Kalau sekarang? Bisa-bisa anak
langsung browsing sendiri dan kita tidak tahu ke page apa dia masuk. Atau bertanya ke orang lain. Kalau orang itu
orang yang tepat, bagaimana kalau ternyata orang yang salah? Karena itu ngobrol
dengan kita sebagai orang tua adalah paling tepat dan karena inilah wajib bagi
kita membekali diri dengan ilmu yang luas tentang banyak hal.
Pada saat tertentu saya juga
menggunakan naluri yang bagi sebagian orang dianggap “agak kejam”. Tapi saya
merasa tidak masalah, karena masih dalam kendali yang wajar untuk saya dan
Alisha. Seperti “Sesekali saya biarkan dia jalan kakai setengah perjalanan saat
pulang sekolah”. Saya sendiri menunggu di tikungan arah rumah yang berjarak
sekitar dua gang. Seetelahnya saya akan menjelaskana bahwa “Mama telat dikit
karena tadi beres-beres dulu”. Atau bahkan terkadang sesekali saya tidak
menjemputnya sama sekali.
Dan reaksinya juga beragam, Kalau
sedang bete entah karena berantem dengan temannya atau karena hal lain, dia
akan marah. Tapi terkadang enjoy saja
karena ada teman jalan bareng dan dia suka itu. Bahkan terkadang bersyukur
sambil nyengir “Icha uang jajannya beli mainan mumpung mama nggak jemput, kalau
mama jemput tadi pasti nggak boleh beli” Nah loh, tinggal mamanya tepok jidat!
Tujuannya? Salah satunya adalah
memberinya “gambaran situasi” bahwa
terkadang ada hal-hal tak terduga yang bisa saja terjadi. Jadi dia harus bisa
memutuskan tetap pulang jalan kaki atau bengong menunggu saya agak lama. Saya
sendiri biasa memberi batasan 15 menit, kalau belum sampai rumah pasti langsung
saya jemput. Karena itulah jarak dari sekolahnya ke rumah.
Tapi sebelum melakukan tes ini
saya sudah berulang melontarkan nasehat “Kalau mama telat atau sibuk atau lupa jemput,
kamu kelamaan, pulang bareng Demdem jalan kaki ya”.
Juga soal konsekuensi, saya juga
sedikit keras. Meski perempuan pada saat tertentu Alisha sangat jahil dan agak
atraktif. Dia sering menjaili temannya yang lebih kecil hingga menangis dan
lari pulang sembunyi. Saat saya tahu, maka dengan tegas saya berkata “Mama akan
panggil mama Arifa buat nyamperin kamu ke sini karena kamu sudah bikin dia
nangis” dan benar-benar saya lakukan.
Dari sini saya berharap dia paham
bahwa semua yang dia lakukan ada konsekuensi yang harus dia tanggung. Bukan mentang-mentang
anak terus saya membela. Pernahkan dia protes? Pernah! Menurutnya “Mama nggak
bela Icha” dan saya jawab “Orang kamu jahilin Arifa sampai nangis kok dibela”.
Sesekali saya juga benar-benar
tidak memberinya uang jajan dalam waktu tertentu. Tindakan yang saya anggap
salah dia beli mainan yang sudah dimilikinya hingga dua kali. Yang pertama saya
tolerir sambil berpesan “Jangan beli lagi yang begini, itu punyamu yang lama di
kotak mainan tinggal rapikan aja. Kalau sampai beli lagi, kamu nggak boleh
jajan seharian”. Karena ikut-ikut temannya, kembali dia membeli mainan yang
sama, meski tak seberapa hanya dua ribu dari uang jajannya sendiri tapi sehari
itu saya benar-benar menjalankan hukuman
tersebut.
Terkadang timbul juga rasa tidak
tega, tapi karena niat baik, maka dikuat-kuatkan deh :D
Bagaimana pengalaman emak, bunda,
mommy, Ibu sekalian? Bisa lo ceritakan di kolom komentar, untuk tambahan bagi
saya belajar J
Kapan-kapan pengen deh belajar ilmu parenthing mak icoel, anak semakin gede tapi ilmu parenthing ku minim bgt. Aku sama suami masih cenderung manjain dalam artian ngikutin apa yg anak pengen gtu, apa karena anak baru satu kali ya. Tapi khawatir juga sih ntar gedenya anak taunya harus ada aja.
BalasHapusSetuju bgt dg quote bhw anak adl proses pembelajaran utk kita yg tiada akhirnya (orang tua).
BalasHapusAnak sy baru berusia 3bln mak. Masih byk yg perlu aku pljari jg. Termasuk nanti klo mau membahas soal seks. Klo dl emang dianggap tabu tp klo jaman skg waaah bisa kecolongan klo kita ga kejam, eh tegas maksudnya. Soalnya jaman udh berubah. Internet dpt diakses dg mudahnya.
Thankssss for sharing mak..
Aku jg akan bljr tegas kyk mak Sumarti ;)
si ken mau 3 thn mak, tp aku terutama si ayah sudah memperkenalkan si ken dg bbrpa hal, mislnya kalau begini nnti begitu, lakukan apa yg bs dilakukan sndiri, dan bbrpa hal kecil lainnya, smbil brharap apa yg aku en suami kenalkan sejak dini ini bnr2 bs dipahami dan merasuk di jiwa si ken,
BalasHapussenengnya terdampar di sini, tfs mak ;)
Yang paling penting banyak2 doa. Seringkali yang sudah kita tanamkan dengan benar tidak membuahkan sesuatu yg baik. Naudzubillahi min dzalik.
BalasHapussaya tertarik sekali dgn pendidikan untuk balita,
BalasHapuskeponakan sya bnyak yg mash kecil2.
terimakasih sudh sharing ttg parenting,
tambahin yg buanyak yaaaaa
hehehe