Berawal dari sebuah video
menghebohkan seorang perempuan cantik bernama Ana, yang mengungkapkan perasaan
sakitnya diduakan oleh sang suami, akhirnya topik sensitif tentang poligami
kembali menggema. Banyak yang menyuarakan isi hatinya melalui berbagai
cara, mulai sekedar komen, status, hingga postingan.
Saya jadi gatel pengen ikut
nimbrung sedikit tentang hal ini. Bukan, bukan membahas saya akan bersikap apa
dan bagaimana. Saya salah satu yang netral saat ditanya tentang hal ini, tidak
berani memberi judge macem-macem karena
secara pribadi tidak pernah dan berharap jangan sampai pernah mengalami, atau
menghadapi situasi tersebut. Saya abstain deh istilahnya kalau diminta pendapat tentang poligami :D
Juga bukan pandangan dari sisi
agama, karena terlalu berat dengan ilmu dan keimanan saya yang masih sangat
cetek dan tipis ini. Bisa-bisa saya dikeroyok orang-orang yang ilmu agamanya
mumpuni deh :D
Tapi lebih kepada pemikiran
psikologis yang selama ini terus saya terapkan dalam diri sendiri. pemikiran
yang akhirnya timbul dan terbentuk dari berjalannya waktu. Dari bertambahnya
usia yang akhirnya menambah pengalaman dan refrensi perasaan. Duile...berasa
kaya mata kuliah penting dah, harus cari refrensi ke perpustakaan dan mencari
buku langka gitu. Tapi memang begitulah keadaannya.
Pemikiran ini juga tidak melulu
sepenuhnya tentang poligami, tapi lebih kepada hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Baik sebelum maupun sudah menikah.
Selama ini saya banyak menjadi tempat curhat, melihat pengalaman
orang lain jauh sebelum membangun rumah tangga sendiri. Sering melihat seorang
perempuan tersakiti, terluka dan akhirnya jatuh dalam keterpurukan yang dalam
akhirnya sembuat saya benar-benar berfikir membangun pertahanan diri.
Saya tidak bisa menjudge sahabat-sahabat atau keluarga
saya yang mengalami hal tersebut, karena saya tidak berada dalam posisi mereka. Menyayangkan? Pasti.
Memberi nasehat seperlunya juga iya. Terkadang saya juga ikut baper yang
berakibat ikut terseret sedih, galau dan gemas. Tapi bisa apa? Saya hanya bisa
menyediakan telinga untuk mendengar, menyediakan pundak untuk berbagi kesedihan
dan mencoba memahami kondisinya. Meski terkadang pada saat tertentu tetap susah
paham *mbulet yak, padahal bukan rumus matematika, tapi begitulah keadaannya*
Pengalaman jadi “telinga” untuk
masalah sahabat atau keluarga, membuat saya menerapkan prinsip ke pasangan “Aku
cinta kamu, tapi aku juga lebih cinta diriku sendiri”. Terdengar egois, tapi
perempuan memang harus egois. Dalam artian, mencintai diri sendiri dengan baik.
Mementingkan diri sendiri dengan proporsional.
Dan saya selalu menanamkan
pikiran bahwa “Pasanganku adalah manusia biasa, tempat salah dan khilaf. Manusia
biasa yang imannya kadang naik, kadang turun. Pasanganku manusia biasa yang
juga bisa berubah. Harapan tentu selalu berubah ke arah yang lebih baik, tapi
bagaimana saat perubahannya ternyata bukan perubahan positif? Kebaikannya berada di titik rendah? Tentu
aku sebagai pasangan akan kecewa, tersakiti”.
Tapi pada saat sebagai perempuan
kita mampu berfikir egois dan mengutamakan kebaikan diri dengan fikiran “Aku
berharga, karena itu aku harus menjaga, mencintai dan menyayangi diriku dengan
dengan baik. Jadi aku tidak akan membiarkan diriku ikut jatuh dan terseret jauh
dalam kenegatifannya. Aku mampu
bertahan dan kuat. Menangis sesaat, wajar. Sedih seketika juga wajar, karena
aku juga manusia biasa. Tapi semua tidak boleh berlarut”.
Apalagi dalam kasusu rumah tangga
dan suah ada buah hati, sebagai perempuan kita harus berfikir bahwa dunia kita
tidak sekedar tentang “Cinta ke pasangan” tapi juga “Cinta kepada anak”. yang
di salamnya ada tanggung jawab menjadi Ibu yang baik, menjadi Ibu yang membanggakan,
menjadi Ibu yang bisa menjadi contoh dan tempat berlari anak saat membutuhkan
pelukan kasih sayang Ibu.
Pada saat sebagai seorang
perempuan kita tidak menempatkan diri dengan sebaik mungkin, bagaimana kita
bisa mengharapkan orang lain untuk lebih baik kepada kita.
Saat kita sebagai perempuan mulai
terluka dan yang terpikir hanya tentang “Cintaku padamu” maka diri sendiri pun
sudah tidak lagi berharga. Sulit untuk berfikir dan bertindak rasional. Terus terpuruk
dan terpuruk, bahkan banyak yang berlaku ekstrim dengan melarikan diri ke
hal-hal negatif. Lupa hitung rugi yang harus ditanggung diri sendiri. Yang ada
terus meyakiti diri sendiri dan terjerumus ke lubang frustasi.
Saat ini saya tidak terpikir
bertanya banyak ke suami fenomena perbincangan sensitif tentang tentang poligami,
karena saya sudah yakin duluan jawabannya akan sama dengan beberapa tahun lalu
saat kami pernah membicarakannya “Satu aja nggak habis kok, buat apa dua segala”.
Dan saya anggap itu jawaban normal di tengah kedamaian rumah tangga kami.
Tapi melihat kejadian yang pernah
ada, seorang laki-laki yang sangat “family
man” pun ternyata bisa juga tergoda, maka saya harus menerapkan prinsip
saya. “Saya cinta kamu, tapi saya juga mencintai diri sendiri”.
Saya lebih suka menyiapkan diri
untuk segala kemungkinan hidup ke depan. Bahwa tidak ada yang bisa menebak apa
yang akan terjadi, kita hanya bisa berjuang melakukan yang terbaik. Dengan kondisi
“Aku cinta kamu” maka saya sudah pasti akan semaksimal mungkin memberikan yang
terbaik untuk pasangan saya.
Dengan “Tapi aku juga cinta
diriku sendiri” maka saya berusaha selalu berfikir bahwa kehidupan berpasangan
tidak hanya tentang langit biru yang cerah, pelangi indah, tapi juga tentang
badai, angin topan dan petir yang selalu siap memporak-porandakan banyak hal. Saat
itulah, saya dituntut siap untuk melewatinya sebaik mungkin. Tetap mampu
berdiri tegak dengan baik di tempat saya agar tidak terseret porak poranda. Karena
diri saya sendiri tidak hanya tentang saya, tapi juga tentang orang tua,
keluarga, sahabat tercinta yang juga akan merasakan sakit saat melihat saya
tersakiti, frustasi dan down.
Tapi apa ini berarti saya tidak memiliki kepercayaan kepada suami? Bukan...tidak begitu. Saya sangat percaya, kalau tidak percaya saya tidak akan berani memutuskan mengikat janji dengannya. Tapi kepercayaan saya diiringi dengan kesadaran seperti yang saya jelaskan di atas "Bahwa pasangan saya juga manusia biasa, tempat salah dan khilaf". Dan suami juga tahu prinsip saya.
Frustasi mendalam selama ini banyak terjadi justru karena tidak siap dengan kenyataan tersebut, sudah menanamkan kepercayaan yang terlalu kuat bahwa "Pasangan saya sempurna". Saat kesempurnaan ternoda, yang ada syok berat dan kecewa berkepanjangan.
Tapi apa ini berarti saya tidak memiliki kepercayaan kepada suami? Bukan...tidak begitu. Saya sangat percaya, kalau tidak percaya saya tidak akan berani memutuskan mengikat janji dengannya. Tapi kepercayaan saya diiringi dengan kesadaran seperti yang saya jelaskan di atas "Bahwa pasangan saya juga manusia biasa, tempat salah dan khilaf". Dan suami juga tahu prinsip saya.
Frustasi mendalam selama ini banyak terjadi justru karena tidak siap dengan kenyataan tersebut, sudah menanamkan kepercayaan yang terlalu kuat bahwa "Pasangan saya sempurna". Saat kesempurnaan ternoda, yang ada syok berat dan kecewa berkepanjangan.
eaaa tergoda juga nulis ini jadi satu tulisan hahahaha yak betul, harus cinta diri sendiri agar saat ada badai, kita tidak akan terlalu terpuruk karena terbiasa "berdiri" sendiri. :D
BalasHapusiya, gara2 kamu nih salah satunya *eeeaaa
Hapussemuanya dikembalikan secara bijak kepada yang "nglakoni hidup ini bagaimana menempatkan diri dan menjadi pengayom baik dalam keluarga"- terlepas dari hal apapun yang terjadi. Simpelnya saya lebih fokus kepada keluarga dan menepiskan banyak ego disekitar saya *eaaah pastinya susahnya minta ampun :D
BalasHapusHihihi, jadi curhat semua deh kita xp
BalasHapussuka banget tulisannya mak :)
BalasHapusdan sangat setuju sama kalimat ini “Aku cinta kamu, tapi aku juga lebih cinta diriku sendiri”
salam kenal mak :)
setuju banget mak..lihatlah diridulu baru kita bisa bersyukur dengan keadaan kita yg sebenarnya :)
BalasHapustulisanya bagus
BalasHapusSebelum mencintai orang lain memang harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu
BalasHapusIya betul, kita harus cinta diri kita sendiri dan yang menentukan diri kita bahagia adalah diri kita sendiri :)
BalasHapussuka tulisanmu yang ini mak, hemmm..... bagaimna bisa mencintai org lain kalau kita tidak mencinti dirikita sendri :)
BalasHapus