Ketika akhirnya hanya menjadi abu yang dilarung di tengah lautan, tanpa membawa apapun. Hanya amal dan doa
Menuju tujuan akhir tanpa puja puji atau sorak poularity, hanya doa dan amal |
Kembali tentang memaknai perjalanan. Apa yang kita dapatkan saat melangkahkan kaki se suatu tempat yang bukan tempat tinggal kita sehari-hari. Bukan tempat kita bergumul dan jelajahi setiap hari. Tentu banyak kisah dan cerita yang terkadang sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata, tapi sangat merasuk dalam hati.
Tempat Pelarungan Abu
Di salah satu pojok Pantai Popoh
yang saya tidak tahu, baru tahu saat bulan lalu padahal saya sudah tak
terhitung ke sini ternyata ada sebuah titik penting yang tak sekedar untuk
duduk manis menatap debut ombak air . Tapi dua bangunan di tepi laut ini adalah
tempat untuk melarung abu jasad yang telah di kremasi.
Betapa kudet akutnya saya, baru
tahu ada titik ini sekarang. Di kelilingi rimbun pohon hutan pegunungan, dua
bangunan terbuka dan hanya beratap dan tiang besi tanpa dinding langsung
menghadap ke lalut lepas. Di bagian tepi ada tempat meletakan hio dan tempat
pembakaran dupa.
Apa yang terpikir saat duduk diam
di sini sambil menatap laut?
Bahwa hidup itu sebenarnya
tentang menuju akhir, semua pasti akan kembali ke pada-NYA. Dan saat kembali,
tidak ada yang dibawa, apapun yang kita miliki di dunia semua tidak ada yang
dibawa. Kalau umat muslim hanya berbungkus selebar kain putih, kalau umat non
muslim inilah salah satunya. Jadi abu kecil yang dilarung ke laut lepas.
Doa yang megiringi |
Dan ini mengingatkan pada
kerendahan hati, tentang kebaikan, tentang amal yang akan menemani. Apa yang
sudah kita lakukan di dunia untuk dibawa ke “pulang”? harta yang banyak tidak
bisa diangkut, kepopuleran juga tidak berarti lagi. Yang adalah “Seberapa baik
perbuatan yang kita lakukan selama di dunia?”. Hanya itu!
Nelayan, Perahu Kecil dan Badai Laut
Saat duduk di batu karang di tepi
pantai Popoh yang menghadap langsung laut lepas bagian atas perbukitan Pantai Popoh,
saya dan Mak Fadlun melihat pemandangan tentang “perjuangan”. Pada bulan Januari memasuki
musim penghujan, angin laut agak kencang berhembus, sangat terasa
saat kita berada di tepi pantai. Jadi kalau ke Popoh sekitar Januari, jangan
lupa jaket. karena anginnya sangat kencang. Cuaca pun tidak menentu, meski panas terik dalam sekejap terkadang berubah drastis.
Mengayuh dengan kencang, seakan berlomba dengan waktu |
Ombak yang biasa agak kalem juga
terdengar garang dan keras saat menghantam batu karang. Di tengah kencangnya
air laut yang terus mengehentak dan gelombang yang kencang, kami melihat sebuah
perahu kayu tanggung yang jalannya menggunakan mesin. Perahu terlihat seperti
ditinggalkan begitu saja. Terus tergoyang, terombang ambing ombak, tapi tidak
berpindah posisi.
Tak lama dari kejauhan 2 perahu kayu kecil di terlihat
melaju kencang menerobos angin dan ombak. Terlihat sosok-sosok dalam kedua
perahu tersebut yang ada di dalamnya
mengayuh sekuat tenaga seperti sedang berlomba satu sama lain.
Terus melaju saling berkejaran... |
Hingga akhirnya keduanya sampai
di perahu yang besar dan mereka berdua berpindah ke perahu tersebut. Dua perahu
kayu yang mereka kayuh diikatkan ke perahu besar dan mesin dinyalakan. Perahu pun
melaju, menghilang dari pandangan kami.
Dan saya langsung tersentuh (ya,
saya memang mudah baper kalau melihat yang terkesan melow :P). Saya yakin mereka pasti adalah nelayan
Pantai Popoh yang setiap hari kerjanya memasang jala di tengah laut. Tiba saatnya,
mereka mengambil perahu dengan jala tersebut untuk dibawa pulang.
Hingga semangat & tanggung jawab mengantar sampai tujuan |
Mereka tidak kenal badai, angin
kencang. Mereka terus melakukannya setiap hari, karena itulah kehidupan mereka.
Kehidupan yang tidak hanya tentang mereka sendiri, tapi tentang keluarga mereka
yang butuh nafkah. Tentang kebutuhan orang banyak untuk bisa menikmati ikan
segar. Dan ini tentang keihklasan dan kesederhanaan standart hidup.
Bukan tentang kita harus
melakukan hal yang sama, tapi mencontoh semangat dan kesederhanaan mereka
adalah yang paling utama. Tentang bagaimana memaknai dan menikmati hidup. Bukan
juga tentang kepsrahan tanpa usaha, tapi tentang perjuangan bertahan pada
posisi masing-masing.
mereka tidak takut menghadapi badai, begitu juga dengan kehidupan harus tetap dihadapi ya mak
BalasHapusya, hidup itu keras Bu :D
HapusAlinea terakhirnya super sekali bu mario ;)
BalasHapusWah, jadi Icoel Teguh deh kayanya akuh :)))
HapusKadang2 kita banyak belajar dari mereka ya Mba..bagaimana memaknai hidup..
BalasHapusbetul, karena kadang kita butuh melihat yang begini untuk membangun kesadaran penuh atas diri dan rasa syukur
HapusHidup memang keras... harus pandai-pandai dalam memaknai dan memperjuangakannyaa... ^^
BalasHapussetuju ;)
Hapus